Pernikahan Ilham Mahdi al Assi dengan seorang pria berusia 23 tahun hanya bertahan empat hari. Bocah yang terpaksa mengikuti tradisi keluarga di Yaman itu tewas dengan kondisi luka dalam di area genitalnya.
Kasus itu jelas mengundang murka sejumlah lembaga perlindungan anak dan hak asasi manusia. "'Elham adalah martir penyalahgunaan kehidupan anak-anak di Yaman. Ini juga contoh jelas tentang kurangnya batasan usia perkawinan," kata Sigrid Kaag, direktur regional UNICEF, seperti dikuti Daily Mail.
Kaag mengatakan, bocah itu meninggal di rumah sakit al-Thawra, Provinsi Hajja Yaman. Empat hari setelah menjalani tradisi 'perkawinan swap' di keluarganya. Di mana saudara laki-lakinya juga menikah dengan adik perempuan suaminya.
Laporan medis yang dikeluarkan rumah sakit menyebut, bocah itu mengalami luka dalam dan pendarahan di organ intimnya. "Kami sangat kecewa dengan kasus kematian yang menimpa pengantin anak di Yaman," kata Kaag.
The Yaman kelompok hak asasi manusia mengatakan gadis itu menikah dalam suatu perjanjian antara dua orang untuk menikah dengan saudara masing-masing untuk menghindari harus membayar mahal-harga pengantin.
Praktik pernikahan di bawah umur di Yaman menarik perhatian kelompok HAM internasional. Selain kasus itu, pada September lalu, seorang bocah 12 tahun juga meninggal setelah berjuang selama tiga hari saat melahirkan.
Pernikahan muda umumnya terjadi di bawah kesepakatan untuk menghindari keharusan membayar mahar yang mahal. Agar tak mengeluarkan biaya mahar besar, orangtua pengantin pria akan bernegosiasi dengan orangtua mempelai wanita untuk menikahkan anak mereka lainnya.
Seperti terjadi pada Ilham Mahdi, di mana saudara laki-lakinya juga menikah dengan adik perempuan suaminya. Ini yang seringkali membuat sejumlah mempelai wanita harus menikah di usia sangat muda demi mencegah mahar mahal saudara pria.
Memperbaiki tradisi itu tak mudah di Yaman. Kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah menghambat upaya pendekatan untuk memberikan pemahamanan mengenai bahaya pernikahan di bawah umur.
Selain alasan mencegah mahar mahal, adat setempat juga meyakini bahwa pengantin muda dapat dibentuk menjadi seorang istri yang patuh, melahirkan banyak anak, dan dijauhkan dari godaan. Apalagi sejumlah tokoh agama menyerukan bahwa mereka yang menentang pernikahan muda dianggap murtad.
Februari 2009, pemerintah sempat menetapkan usia 17 tahun sebagai batas minimum untuk menikah. Tapi itu dicabut dan dikirim kembali ke panitia konstitusi di parlemen. Aturan itu diminta ditinjau kembali setelah beberapa politisi menyebutnya tidak Islami.
Berdasar data Departemen Sosial Yaman, lebih dari seperempat wanita di negara itu menikah sebelum usia 15.
Sumber
0 komentar:
Post a Comment